Liputan Media

http://www.tempo.co/read/video/2014/02/06/1519/Peringati-Peristiwa-APRA-Melalui-Reka-Ulang-Sejarah

http://www.pikiran-rakyat.com/node/219136

http://bandung.okezone.com/read/2013/02/11/526/759659/ngaguar-tapak-siliwangi-gegerkan-kota-bandung

http://bandung.bisnis.com/read/20130423/45759/346205/komunitas-historia-van-bandoeng-tempat-ngumpul-penikmat-sejarah

Kamp Cimahi

pusdikHUB

Salah satu sisi Bangunan bekas Markas batalyon Infanteri 4e dan 9e pada tahun 1942-1945 dijadikan Kamp Tawanan Perang di Cimahi, di kamp ini di tawan orang Belanda dan Indo Eropa dari pelosok pulau jawa, untuk para tawanan perang dibedakan menurut pangkat, kebangsaan dan asal Asia atau non Asia, sebagian ex tentara KNIL yang berasal dari suku Sunda , Jawa dan Timor banyak yang kemudian dilepaskan, tetapi untuk prajurit yang berasal dari suku Ambon dan Manado yang memiliki reputasi pro Belanda tetap ditahan….sampai akhir pembebasannya tahun 1945…
(bangunan ini sekarang menjadi komplek bangunan PusdikHub dan Bekang TNI AD)
Oleh : Iwan Hermawan

 

Villa Mei Ling

PsiAd
Dibawahnya jalan Dr.de Grootweg (sekarang jalan Siliwangi) dibangun tahun 1930 dengan arsitek FW Brinkmann. merupakan rumah pengusaha beras Ang Eng Kan.
Bangunan ini menjadi saksi hari-hari terakhir Belanda di Netherland Indie..
Pada tanggal 7 Maret 1942 rumah residen Priangan (Gedung Pakuan sekarang) dibom Dai Nippon…sorenya H.J. van Mook terbang ke Australia menggunakan pesawat dijalan Boehbatoeweg yang baru selesai dibangun untuk dijadikan landasan untuk terbang…..dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh beserta rombongan pada malam hari pindah ke Villa Mei Ling.
Dari Villa inilah Gubernur jenderal menerima surat balasan dari balatetentara Dai Nippon yang mendesak untuk melakukan perundingan di Kalijati Subang…… “Penyerahan total” yang menyedihkan.
(bangunan ini sekarang digunakan sebagai Dinas Psikologi TNI AD)

 

Oleh : Iwan Hermawan

Laskar Wanita Indonesia – LASWI

Laswi-Patung
Patung Laswi di dekat viaduct jalan Stasiun Bandung

 

Ada dua nama LASWI yg bikin heboh saat itu, Willy dan Susilowati. Mereka jadi bahan cerita karena berani memenggal kepala tentara Gurkha. Willy berhasil menembak mati seorang Gurkha dalam pertempuran dekat Ciroyom. Dengan pedang Gunto, ditebasnya kepala Gurkha itu. Potongan kepala Gurkha diserahkan Willy ke komandan LASWI, Ibu Arudji, sebagai bukti bahwa Pemuda Bandung bukanlah Peujeum Bol. Susilowati agak lebih ekstrim. Setelah memenggal kepala Gurkha, ditengtengnya potongan kepala sambil berjalan sepanjang Jln. Raya Barat,melalui Cibadak, sampai ke Markas Divisi III di Regentsweg. Dari sini potongan kepala dikirimkan ke Markas Tentara RI di Yogya sebagai bukti bahwa Pemuda Bandung tidak pernah berhenti melawan dan bertempur. Selain itu, banyak juga anggota LASWI yang gugur seperti korban pemboman di Majalaya dan yang tertembak saat mengantarkan makanan dalam pertempuran di Lengkong Besar. Nani dan Hermiati ditangkap Gurkha dan dibawa ke Nusakambangan. LASWI mendirikan dapur umum di banyak tempat. Perjuangan perempuan dgn nama LASWI akan berakhir 8 Maret 1948 saat digabungkan dgn Resimen Perdjoangan di bawah pimpinan Letkol Soetoko

Oleh : Firman Hendriansyah

PASUKAN SETAN

pasukanSetan

Agresi militer Belanda untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia dilakukan secara terencana dan dukungan persenjataan militer terlengkap dan tercanggih saat itu, Dalam proses pertempuran perang mempertahankan kemerdekaan itulah muncul Pasukan Setan (PS) pimpinan M.A. Sentot. Menurut keterangan pak Darsimah pasukan pimpinan M.A. Sentot disebut pasukan setan sebab seluruh anggota pasukannya bisa menghilang. (Pak Darsimah merupakan teman seperjuangan M.A. Sentot. Lebih dari sekadar teman, beliau juga merupakan pengasuh Sentot sejak kecil, dan mengabdi kepada keluarga orangtua M.A. Sentot). Konon, anggota pasukan setan ini memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa sehingga selalu lolos dalam kepungan pasukan Belanda. Sekali waktu datang menyerang dan setelah itu langsung menghilang. Mereka menghilang tapi tidak kembali ke markas, sehingga sulit dilacak oleh Belanda. Pasukan ini sungguh menjadi fenomena. Anggota mereka yang hanya belasan orang tetapi sanggup mengobrak-abrik kantong-kantong kekuasaan Belanda. Simbol atau lambang pasukan ini sangat menyeramkan, yaitu berupa gambar tengkorak manusia yang diberi tanda silang di bawahnya dalam bendera berwarna dasar merah. Di bawah gambar tengkorak terdapat tulisan P.S. yang merupakan singkatan dari Pasukan Setan.

M.A. Sentot sebagai mantan Shodancho di tahun 1943 yang merupakan hasil didikan keras para prajurit Jepang di tahun 1945 sudah berpangkat Letnan Satu. Setelah selama dua tahun berjuang di Majalengka (1945-1946) memilih untuk pindah ke Indramayu.
Di Indramayu, Letnan Satu M.A. Sentot membentuk pasukan sendiri beranggotakan orang-orang pilihannya. Inilah cikal bakal pasukan setan yang menjadi ’hantu’ menakutkan bagi para serdadu Belanda. Betapa tidak, meskipun tentara Belanda dibekali persenjataan yang lengkap namun bisa kocar-kacir oleh ulah pasukan setan yang hanya bersenjatakan senjata rampasan. Sebuah pasukan kecil yang justru sering menimbulkan kerugian besar di pihak Belanda.

Menurut keterangan Bapak S. Soedimantoro, komposisi pasukan bentukan M.A. Sentot yang berasal dari berbagai sumber kekuatan rakyat telah melakukan perlawanan sangat heroik. Asrama tentara Belanda yang berkedudukan di Desa Penganjang, misalnya merupakan lokasi yang jelas sangat mudah untuk diserang. Sayang sekali, dalam penyerangan ke markas tentara Belanda ini, telapak kaki Bapak Sutara (pimpinan pasukan Istimewa) cedera. Telapak kaki beliau belah akibat senjata pelontar granat buatan Jepang (pasukan tentara saat itu menyebutnya dengan istilah Teki Danto) yang digunakannya posisi dasarnya meleset saat dioperasikan sehingga mengenai telapak kaki Bapak Sutara. Kondisi ini tidak begitu mengganggu. Justru pasukan Istimewa ini semakin meraja-lela dengan melakukan serangan-serangan ke dalam kota.
Pada saat itu, untuk melindungi markas utama di Kampung Waledan dan Kujang, maka desa-desa di sekitarnya dijadikan garis depan penyerangan (front) terhadap tentara-tentara Belanda. Front yang dikuasai pasukan gerilya itu terdiri dari Desa Arahan, Gandok, Cabang, dan Pecuk. Dengan demikian Waledan dan Kujang tetap aman dan terkendali sebagai Pos Komando.
Meskipun telah membentuk front-front perlawanan, bukan jaminan bahwa Pos Komando di Waledan dan Kujang akan aman. Perhitungan M.A. Sentot secara militer mengatakan bahwa bisa saja tentara-tentara Belanda menyebarkan mata-matanya hingga ke pedalaman Kampung Waledan dan Kujang. Itulah sebabnya pasukan mata-mata tandingan pun dilakukan. Akibatnya setiap hari terjadi pertempuran yang misterius antara mata-mata Belanda dan mata-mata pihak Republik Indonesia. Dalam peristiwa inilah Bapak Wargana, dari pihak pasukan Republik, gugur.

Penyerangan Konvoi Belanda di Jembatan Bankir
Pasukan Setan memang gesit dan cepat menghilang. Salah satu aksi yang dilakukan pasukan ini adalah menghadang konvoi tentara Belanda di jembatan Bankir. Dalam pertempuran ini pihak Pasukan Setan menewaskan 40 tentara Belanda dan merampas semua persenjataan mereka. Peristiwa ini sangat terkenal dan membuat pimpinan tentara Belanda harus menyusun kembali rencana perang mereka.

Keberhasilan penyerangan konvoi Belanda di jembatan Bankir pada November 1947 ini merupakan sebuah hasil dari penyerangan yang terencana. Sebelumnya, Pasukan M.A. Sentot terlebih dulu telah mendapat bantuan senjata dari Polisi Belanda yang berada dibawah pimpinan Suhad, yang menggabungkan diri dengan pasukan Republik Indonesia, di desa Anjatan. Dengan diperolehnya bantuan senjata ini, maka diadakan Iagi penghadangan di desa Kopyah dengan tujuan untuk menyelamatkan tawanan-tawanan yang akan dibawa Belanda ke Haurgeulis. Tawanan-tawanan tersebut akhirnya dapat diselamatkan. Sementara itu tentara Belanda kocar-kacir, meninggalkan banyak korban.

Modal kemenangan dari penghadangan di berbagai tempat membuat pasukan gerilyawan semakin berani dan percaya diri. Dari rasa percaya diri itulah direncanakan melumpuhkan konvoi tentara Belanda di jembatan Bangkir pada akhir bulan Novembar 1947. Pada sekitar jam 05.00 pagi pasukan gerilya telah disiapkan untuk mengadakan operasi di sekitar jembatan Bangkir. Sementara itu rakyat di sekitarnya diungsikan ke desa-desa jang diperkirakan lebih aman. Setelah lama menunggu barulah sekitar jam 09.00 terdengar suara truck yang ternyata bukan truck militer Be¬landa. Truck preman yang dikawal oleh dua orang Polisi Pasundan tersebut tidak diganggu-ganggu untuk menjaga jangan sampai rencana itu bocor.

Sekitar jam 11.00 barulah ada kode dari Pos Peninjau yang memberi isyarat bahwa konvoi Militer Belanda jang didahului oleh Bren-Carrier akan melintasi jembatan Bangkir dari arah Indramayu. Pasukan yang semula kaget melihat banyaknya tentara Belanda bangkit kembali semangatnya setelah M.A. Sentot memberi komando untuk melakukan tembakan. Dari jarak hanya 30 meter pasukan M.A. Sentot menembaki pasukan Belanda. Kopral Dali, seorang penembak bren, berhasil melumpuhkan Bren-Carrier beserta pengemudinya. Jumlah kerugian Belanda tak terkira, sebab seluruh peleton prajurit yang konvoi berikut satu mobil palang merah Belanda dapat dihancurkan. Pertempuran yang berlangsung sekitar tiga jam itu berakhir sekitar jam 14.00.
Dalam peristiwa ini dua orang tentara Belanda berhasil lolos. Namun dalam upaya menyelamatkan diri ke kota Indramayu yang berjarak sekitar 10 kilo meter, mereka tertangkap oleh rakyat dan akhirnya dibunuh. Di kemudian hari diketahui bahwa salah seorang dari dua tentara yang dibunuh rakyat ini merupakan dokter berpangkat Mayor. Sementara itu dari pihak pasukan M.A. Sentot gugur satu orang bernama Salim.

Di akhir pertempuran, ketika Pasukan Setan pimpinan M.A. Sentot hendak mengumpulkan senjata-senjata hasil rampasan, tiba-tiba bantuan tentara Belanda dari kota Indramayu datang dalam jumlah sangat besar. Mengingat kondisi pasukan cukup lelah, maka M.A. Sentot memutuskan untuk tidak melawan pasukan bantuan tersebut. Para prajurit Pasukan Setan memilih mengundurkan diri ke markas mereka di Kampung Waledan dan Kujang. Pada saat mengundurkan diri inilah dua orang anggota pasukan M.A. Sentot gugur, yaitu Murah Nara dan Basuki. Keduanya tersesat dalam proses pengunduran diri sebab tidak begitu paham lokasi markas. Konon Murah Nara merupakan pemuda asal Karawang yang memilih berperang melawan tentara Belanda di Indramayu. Dalam posisi tersesat itulah keduanya dihadang tentara Belanda yang datang dari arah Jatibarang. Tembakan gencar dari tentara Belanda membuat kedua pejuang ini gugur.

Terpancing Propaganda Belanda,
Di akhir tahun 1947, menjelang 1 Januari 1948, pihak Belanda mengubah taktik pertempuran. Kali ini mereka menggunakan siasat perang urat syaraf (psy war). Tentara-tentara Belanda menggunakan tipu muslihat dengan menyebarkan surat-surat kaleng, desas-desus, selebaran gelap, dan penyebaran dokumen rahasia. Isi yang tersebar adalah bahwa Belanda akan mengakui 100% kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Januari 1948. Lemahnya intellijen di kalangan gerilyawan menyebabkan rakyat terhasut oleh informasi menyesatkan ini. Tidak hanya rakyat, bahkan banyak anggota pasukan gerilyawan yang mengadakan pesta kemenangan berama rakyat untuk menyambut datangnya 1 Januari 1948 hingga larut malam.
Apa yang terjadi kemudian? Pasukan gerilya hampir kecolongan. Untunglah sekitar jam 05.00 segera datang laporan dari Pos Pengawas bahwa pasukan Belanda yang datang dari Jatibarang sudah berada di kampung Kerticala. Posisi pasukan Belanda yang sangat dekat dengan markas komando gerilya pasukan M.A. Sentot ini membuat para gerilyawan yang sedang kelelahan sehabis berpesta segera mengungsi ke pinggir-pinggir hutan. Kegesitan untuk mengungsi itu menyebabkan tidak terjadinya kontak senjata antara pasukan gerilyawan dan tentara Belanda karena tak satupun pasukan gerilya yang berhasil mereka temukan.
Ketika cuaca mulai terang, sebenarnya M.A. Sentot dan kawan-kawan akan segera menyerang kedudukan tentara Belanda. Namun niat itu tidak dilaksanakan sebab tiba-tiba pesawat pemburu Mustang Belanda berputar-putar di atas udara desa Sukamulya. Daripada menyerang yang bisa berakibat fatal, pasukan M.A. Sentot akhirnya berpindah posisi ke kampung Telagadua.

Awal Clash dengan Hisbullah
Sementara itu, kondisi pertempuran kian rumit. Keberadaan pasukan gerilyawan di desa Jatisura, Sukamulya, dan Telagadua bukan tanpa kendala. Pada pertengahan Januari 1948 ke markas gerilya pimpinan Kapten Satmoko datanglah seorang tamu bernama Hamid. Rupanya orang ini merupakan mata-mata pasukan Hizbulloh. Setelah itu malam harinya terjadilah penculikan di markas komando gerilya V. Pasukan Hizbulloh dikabarkan menculik Mayor Sangun, Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo. Sementara itu Kapten Satmoko berhasil meloloskan diri dalam penyergapan itu.
Inilah awal clash pasukan M.A. Sentot dengan pasukan Hizbulloh. Setelah penculikan itu, tiga tawanan mereka Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo dibunuh. Mayat ketiganya dibuang ke sungai Cimanuk. Dalam situasi seperti itu M.A. Sentot menerima laporan dari rakyat yang menyatakan bahwa tentara Belanda datang menyerang dari desa Sumber dengan tanpa berpakaian. Setelah laporan itu diperiksa, ternyata yang datang menyerang adalah pasukan Hizbulloh pimpinan Danu. M.A. Sentot yang menganggap pasukan Hizbulloh merupakan teman seperjuangan, sebab mereka sama-sama melawan Belanda, tidak merasa curiga atas kedatangan mereka.

Ternyata perhitungan M.A. Sentot meleset. Pasukan Hizbulloh menyerang pasukan M.A. Sentot yang bermarkas di desa Telagadua dari tiga jurusan. M.A. Sentot yang belum memahami persoalan itu seutuhnya segera memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri ke hutan dan tidak memberikan tembakan balasan.

Sambil mengundurkan diri ke hutan, salah seorang dari pihak M.A. Sentot, yaitu Kapten Surya mengadakan kontak dengan pimpinan Hizbulloh, Danu. Dari kontak itulah diketahui bahwa pasukan Hizbulloh telah salah memilih sasaran. Mereka sedang mencari-cari pasukan gerilya pimpinan Letnan Purbadi yang telah berselisih dengan mereka untuk diminta pertanggungjawabannya. Mereka mengira bahwa anggota gerilya pimpinan M.A. Sentot merupakan anggota gerilyanya pimpinan Letnan Purbadi. Untuk menghindarkan diri dari pertempuran dengan sesama bangsa Indonesia, M.A. Sentot segera memindahkan pasukannya ke kampung Cimindel.
Dalam situasi gawat seperti itu datang perintah dari Letnan Kolonel Abimanyu agar semua pasukan diberangkatkan ke Majalengka, dan ditugaskan untuk menumpas pasukan Hizbulloh yang sudah merajalela. Pasukan Hizbulloh yang terkepung akhirnya meloloskan diri satu per satu. Pasukan pimpinan M.A. Sentot diberi tugas ke desa Asrama di sekitar Indrakila. Di daerah itu pun pasukan Hizbulloh telah menghilang. Pada saat itu, Mayor Sangun telah dibebaskan oleh pasukan gerilyawan yang dipimpin Letnan Emen Slamat. Selanjutnya para pasukan gerilya ini berpindah ke Majalengka.

Hijrah ke Yogyakarta
Perjanjian Renville ditandatangani oleh wakil pimpinan Republik Indonesia dan wakil Belanda. Berdasarkan isi perjanjian ini, maka seluruh gerilyawan harus meninggalkan kantong-kantong gerilya. Sebagai pasukan yang setia pada perintah pimpinan, maka para prajurit yang ada di kantong-kantong gerilya di Indramayu berjalan kaki pindah ke Majalengka. Mereka harus melalui desa Ujungjaya, kemudian berkumpul di desa Ciwaru. Di tempat inilah setelah berjalan kaki selama tiga hari tiga malam pasukan gerilya dari seluruh Karesidenan Cirebon berkumpul.

Setelah beristirahat selama beberapa hari, pimpinan Brigade V, melalui Kepala Staff-nya yaitu Mayor Kusno Utomo, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul di Kuningan. Tempat ini merupakan tempat terakhir di mana seluruh pasukan akan diberangkatkan menggunakan kereta api menuju Gombong, Jawa Tengah. Dari kota ini pasukan melanjutkan perjalanan menuju Ketandan/Klaten. Dari situ mereka melanjutkan perlajanan ke Colomadu, dan berakhir di Tasikmadu.

Di daerah Tasikmadu inilah pasukan yang berasal dari Karsidenan Cirebon mengalami reformasi dan reorganisasi. Pasukan M.A. Sentot sendiri yang semula berada dibawah Bataylon V, kini ditempatkan di Batalyon I Resimen 12 Divisi IV Siliwangi, di bawah pimpinan Mayor Rukman yang membawahi para prajurit dengan susunan komandan sebagai berikut:

Dan Kie I adalah Kapten M.A. Sentot
Dan Kie II adalah Kapten Mahmud Pasja
Dan Kie III adalah Kapten Mustofa
Dan Kie IV adalah Kapten A. Syukur

Sementara itu Kompi I membawahi beberapa Peleton yang terdiri dari:

Peleton I dengan komandannya Letda Hasanuddin
Kompi II dengan komandannya Letda Nasuha
Peleton III dengan komandannya Letda Sudimantoro

 

Tokubetsu Keisatsu Tai / De Poelisi Istimewa

Tokubetsu Keisatsu Tai / De Poelisi Istimewa
pada April 1944 pemerintah militer Jepang Membentuk polisi khusus yang disebut Tokubetsu Keisatsu Tai (Pasukan Polisi Istimewa) untuk adanya tenaga cadangan yang dapat digerakkan dengan cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi. Jika keadaan memerlukan, cadangan polisi ini dapat berperan sebagai tenaga tempur.

PI-01

Anggotanya terdiri dari para Polisi Muda serta Pemuda Polisi. Tokubetsu Keisatsu Tai didirikan di setiap keresidenan seluruh Jawa-Madura dengan fasilitas persenjataan lebih lengkap daripada Polisi Umum. Para calon anggota Tokubetsu Keisatsu Tai diasramakan serta memperoleh pendidikan dan latihan kemiliteran dari tentara Jepang. Maka dari itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa anggota Tokubetsu Keisatsu Tai adalah pasukan yang terlatih, berdisiplin tinggi, terorganisasi dengan rapi dan memiliki persenjataan yang cukup baik.

 

PI-02 PI-03

Ketika Jepang menyerah kalah kepada sekutu dan kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Nama Tokubetsu Keisatsu Tai kemudian secara otomatis diIndonesiakan dengan sebutan bermacam-macam, seperti ; Pasukan Polisi Istimewa, Polisi Istimewa atau Barisan Polisi Istimewa. kemudian Pada 14 November 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengubah Pasukan Polisi Istimewa nenjadi Mobile Brigade (Mobrig)

Oleh : Firman Hendriansyah

 

Benceuy

Yang tersisa dari sebuah komplek penjara yang dibangun tahun 1871 di tengah kota Bandung, Kenapa “sel No 5”, karena disanalah Bung Karno ditahan dan dengan telatennya Inggit mensupport dengan mengirim makanan dan koran-koran depreangerbode dan sipatahoenan, mereka dapat bertatap muka setelah sebulan Bung Karno meringkuk di sel ini. disel inilah “Indonesia Menggugat” dibuat……

 

Penjara BungKarno

Oleh : Iwan Hermawan

De Dodenweg (Batalyon Nasuhi)

emblemBaru
Lambang Batalyon Tengkorak

 

De Dodenweg, atau “Jalan Kematian” antara Ciamis-Kuningan memiliki kesan tersendiri bagi Nasuhi. Belanda mengirim logistik setiap hari melalui jalan tersebut, mereka juga mengirimkan patroli-patrolinya seminggu sekali sesuai pentunjuk mata-mata.

Pasukan Nasuhi seringkali melakukan pencegatan di jalan-jalan sebelah barat dan selatan di sekitar Kawali.
Pada suatu hari, Nasuhi bersama 5 orang anak buahnya menyeberangi “Jalan Hideung”, yaitu jalan aspal antara Kawali-Cikijing, Kuningan.
Dari jauh terdengar suara truk mendekat. Mereka mengambil posisi ditikungan yang tajam, Nasuhi mengawali t
embakan yang kemudian diikuti oleh anak buahnya. Truk Belanda yang berisi 3 orang itu terbalik, penumpangnya terlempar keluar dengan luka parah.

Ketiga serdadu Belanda itu mengerang kesakitan karena terluka parah. Tidak ada obat-obatan tersedia untuk menolong mereka, sementara rakyat di sekitar tempat kejadian berdatangan ke tempat kejadian dengan membawa segala macam senjata tajam. Mereka bersiap melepaskan dendamnya terhadap serdadu Belanda yang seringkali melakukan patroli dengan membakar rumah penduduk dan membunuhi warga.

Melihat situasi tersebut, Nasuhi segera mengambil keputusan untuk menyudahi penderitaan serdadu KL tersebut dengan menembak mati ketiganya. Setelah Nasuhi meninggalkan lokasi kejadian, terdengar rakyat berteriak-teriak melepaskan dendamnya.

Batalyon Nasuhi di kemudian hari menjadi cikal bakal batalyon Infanteri Lintas Udara 305/Tengkorak

emblemTengkorak2
Emblem Batalyon Tengkorak tahun 1948 dari film “Mereka Kembali”. Dikenakan di dada sebelah kiri.
emblemTengkorak
Emblem Batalyon Tengkorak dikenakan oleh anggota reenactor Havebe dengan seragam TNI tahun 1950.

 

-Tahun-tahun Emas Divisi Siliwangi

 

Kamp Baros V Tjimahi

Tjimahi 1942-1945
Kamp Baros V Tjimahi

kampCimahi
Kamp ini terletak di jalan exit tol Baros (sekarang ditempati oleh PUSDIKPOM/ Pusat Pendidikan Polisi Militer). kamp ini bekas Tangsi Depot Batalyon ke 6 Milisi KNIL yang terdiri dari orang-orang pribumi dari suku Ambon, Timor dll yang dibangun tahun 1939
Nama lain dari kamp ini adalah Bamboekamp, Prominentenkamp, Bunsho II Kamp 5, Baros III (Van Velden).
Pada bulan April 1943 digunakan sebagai Kamp tawanan perang (POW) sampai dengan bulan Agustus 1945 lokasi ini dijadikan Kamp internir untuk Pria dan anak Laki-laki Belanda dan eropa umumnya, mereka ditampung dibarak-barak yang dikelilingi oleh kawat berduri dan gedek. Komandan kamp adalah Letkol Kimura dengan wakilnya Letnan Kurashima Tomiji dengan penjaga dari pasukan Nippon, korea dan Heiho.

Adalah suatu yang unik di dalam kamp disalah satu barak yang disebut barak 18 diisi rohaniawan Katolik Roma yang ditahan sehingga mendapat julukan “Vatican City”, kemudian Barak 13 dijuluki “Tel Aviv”, tempat tahanan orang-orang Yahudi dan Freemason, mereka diharuskan menggunakan segitiga merah….Bandoeng-Tjimahi yang dulunya menjadi surga menjadi neraka sebagai tempat pembuangan….

 Oleh : Iwan Hermawan

Pertempuran 10 November Surabaya 1945

Siapa yang tidak tahu tentang hari pahlawan ini? Di sinilah semangat juang yang tinggi ditunjukkan oleh rakyat Indonesia, bukan saja hanya rakyat Surabaya sendiri, dalam menghadapi kekuatan asing yang ingin menguasai nusantara.

09

 

02

Dalam peringatan hari Pahlawan tahun 2013,  Havebe menyempatkan hadir untuk berkumpul dengan para reenactor dari seluruh Indonesia dalam kegiatan reenactment kolosal yang tiap tahunnya diadakan di Surabaya.

46

51

Pada peristiwa tahn 1945, para Pejuang melawan sekutu yang terdiri dari British Indian. Para reenactor menggunakan property dan pakaian yang menyesuaikan dengan kejadian sejarahnya. Disinilah diperlukannya ketelitian dalam menampilkan sebuah teatrikal sejarah.

Havebe bersama seluruh pendukung acara yang terhitung ratusan orang, rela berpanas-panas di kota Surabaya demi menyampaikan informasi sejarah dalam bentuk teatrikal kolosal.

Tentunya udara yang panas sangat berpengaruh pada rekan-rekan Havebe yang berasal dari Bandung. Dehidrasi menjadi masalah selain sakit kepala dan mimisan akibat terik matahari.

11

Teatrikal ini dimulai dari kedatangan Inggris dari arah utara menyerang ke viaduct kereta api di jalan Pahlawan. Di sana para pejuang bertahan dan akhirnya mundur ke selatan.

53
Teatrikal dilanjutkan dengan parade dari depan kantor Gubernur Jatim menuju Balaikota. Sepanjang perjalanan teatrikal dilaksanakan lagi sampai 3 kali. Tentunya membuat para peserta dari Bandung makin kehausan, tapi semangat juang dan kebersamaan membuat hati gembira dan melupakan rasa haus dan lelah.

Oleh : Ali Sopan Anak Pengkolan

Foto : Hosea Aryo Bimo

4 out of 5 dentists recommend this WordPress.com site