PASUKAN SETAN

pasukanSetan

Agresi militer Belanda untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia dilakukan secara terencana dan dukungan persenjataan militer terlengkap dan tercanggih saat itu, Dalam proses pertempuran perang mempertahankan kemerdekaan itulah muncul Pasukan Setan (PS) pimpinan M.A. Sentot. Menurut keterangan pak Darsimah pasukan pimpinan M.A. Sentot disebut pasukan setan sebab seluruh anggota pasukannya bisa menghilang. (Pak Darsimah merupakan teman seperjuangan M.A. Sentot. Lebih dari sekadar teman, beliau juga merupakan pengasuh Sentot sejak kecil, dan mengabdi kepada keluarga orangtua M.A. Sentot). Konon, anggota pasukan setan ini memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa sehingga selalu lolos dalam kepungan pasukan Belanda. Sekali waktu datang menyerang dan setelah itu langsung menghilang. Mereka menghilang tapi tidak kembali ke markas, sehingga sulit dilacak oleh Belanda. Pasukan ini sungguh menjadi fenomena. Anggota mereka yang hanya belasan orang tetapi sanggup mengobrak-abrik kantong-kantong kekuasaan Belanda. Simbol atau lambang pasukan ini sangat menyeramkan, yaitu berupa gambar tengkorak manusia yang diberi tanda silang di bawahnya dalam bendera berwarna dasar merah. Di bawah gambar tengkorak terdapat tulisan P.S. yang merupakan singkatan dari Pasukan Setan.

M.A. Sentot sebagai mantan Shodancho di tahun 1943 yang merupakan hasil didikan keras para prajurit Jepang di tahun 1945 sudah berpangkat Letnan Satu. Setelah selama dua tahun berjuang di Majalengka (1945-1946) memilih untuk pindah ke Indramayu.
Di Indramayu, Letnan Satu M.A. Sentot membentuk pasukan sendiri beranggotakan orang-orang pilihannya. Inilah cikal bakal pasukan setan yang menjadi ’hantu’ menakutkan bagi para serdadu Belanda. Betapa tidak, meskipun tentara Belanda dibekali persenjataan yang lengkap namun bisa kocar-kacir oleh ulah pasukan setan yang hanya bersenjatakan senjata rampasan. Sebuah pasukan kecil yang justru sering menimbulkan kerugian besar di pihak Belanda.

Menurut keterangan Bapak S. Soedimantoro, komposisi pasukan bentukan M.A. Sentot yang berasal dari berbagai sumber kekuatan rakyat telah melakukan perlawanan sangat heroik. Asrama tentara Belanda yang berkedudukan di Desa Penganjang, misalnya merupakan lokasi yang jelas sangat mudah untuk diserang. Sayang sekali, dalam penyerangan ke markas tentara Belanda ini, telapak kaki Bapak Sutara (pimpinan pasukan Istimewa) cedera. Telapak kaki beliau belah akibat senjata pelontar granat buatan Jepang (pasukan tentara saat itu menyebutnya dengan istilah Teki Danto) yang digunakannya posisi dasarnya meleset saat dioperasikan sehingga mengenai telapak kaki Bapak Sutara. Kondisi ini tidak begitu mengganggu. Justru pasukan Istimewa ini semakin meraja-lela dengan melakukan serangan-serangan ke dalam kota.
Pada saat itu, untuk melindungi markas utama di Kampung Waledan dan Kujang, maka desa-desa di sekitarnya dijadikan garis depan penyerangan (front) terhadap tentara-tentara Belanda. Front yang dikuasai pasukan gerilya itu terdiri dari Desa Arahan, Gandok, Cabang, dan Pecuk. Dengan demikian Waledan dan Kujang tetap aman dan terkendali sebagai Pos Komando.
Meskipun telah membentuk front-front perlawanan, bukan jaminan bahwa Pos Komando di Waledan dan Kujang akan aman. Perhitungan M.A. Sentot secara militer mengatakan bahwa bisa saja tentara-tentara Belanda menyebarkan mata-matanya hingga ke pedalaman Kampung Waledan dan Kujang. Itulah sebabnya pasukan mata-mata tandingan pun dilakukan. Akibatnya setiap hari terjadi pertempuran yang misterius antara mata-mata Belanda dan mata-mata pihak Republik Indonesia. Dalam peristiwa inilah Bapak Wargana, dari pihak pasukan Republik, gugur.

Penyerangan Konvoi Belanda di Jembatan Bankir
Pasukan Setan memang gesit dan cepat menghilang. Salah satu aksi yang dilakukan pasukan ini adalah menghadang konvoi tentara Belanda di jembatan Bankir. Dalam pertempuran ini pihak Pasukan Setan menewaskan 40 tentara Belanda dan merampas semua persenjataan mereka. Peristiwa ini sangat terkenal dan membuat pimpinan tentara Belanda harus menyusun kembali rencana perang mereka.

Keberhasilan penyerangan konvoi Belanda di jembatan Bankir pada November 1947 ini merupakan sebuah hasil dari penyerangan yang terencana. Sebelumnya, Pasukan M.A. Sentot terlebih dulu telah mendapat bantuan senjata dari Polisi Belanda yang berada dibawah pimpinan Suhad, yang menggabungkan diri dengan pasukan Republik Indonesia, di desa Anjatan. Dengan diperolehnya bantuan senjata ini, maka diadakan Iagi penghadangan di desa Kopyah dengan tujuan untuk menyelamatkan tawanan-tawanan yang akan dibawa Belanda ke Haurgeulis. Tawanan-tawanan tersebut akhirnya dapat diselamatkan. Sementara itu tentara Belanda kocar-kacir, meninggalkan banyak korban.

Modal kemenangan dari penghadangan di berbagai tempat membuat pasukan gerilyawan semakin berani dan percaya diri. Dari rasa percaya diri itulah direncanakan melumpuhkan konvoi tentara Belanda di jembatan Bangkir pada akhir bulan Novembar 1947. Pada sekitar jam 05.00 pagi pasukan gerilya telah disiapkan untuk mengadakan operasi di sekitar jembatan Bangkir. Sementara itu rakyat di sekitarnya diungsikan ke desa-desa jang diperkirakan lebih aman. Setelah lama menunggu barulah sekitar jam 09.00 terdengar suara truck yang ternyata bukan truck militer Be¬landa. Truck preman yang dikawal oleh dua orang Polisi Pasundan tersebut tidak diganggu-ganggu untuk menjaga jangan sampai rencana itu bocor.

Sekitar jam 11.00 barulah ada kode dari Pos Peninjau yang memberi isyarat bahwa konvoi Militer Belanda jang didahului oleh Bren-Carrier akan melintasi jembatan Bangkir dari arah Indramayu. Pasukan yang semula kaget melihat banyaknya tentara Belanda bangkit kembali semangatnya setelah M.A. Sentot memberi komando untuk melakukan tembakan. Dari jarak hanya 30 meter pasukan M.A. Sentot menembaki pasukan Belanda. Kopral Dali, seorang penembak bren, berhasil melumpuhkan Bren-Carrier beserta pengemudinya. Jumlah kerugian Belanda tak terkira, sebab seluruh peleton prajurit yang konvoi berikut satu mobil palang merah Belanda dapat dihancurkan. Pertempuran yang berlangsung sekitar tiga jam itu berakhir sekitar jam 14.00.
Dalam peristiwa ini dua orang tentara Belanda berhasil lolos. Namun dalam upaya menyelamatkan diri ke kota Indramayu yang berjarak sekitar 10 kilo meter, mereka tertangkap oleh rakyat dan akhirnya dibunuh. Di kemudian hari diketahui bahwa salah seorang dari dua tentara yang dibunuh rakyat ini merupakan dokter berpangkat Mayor. Sementara itu dari pihak pasukan M.A. Sentot gugur satu orang bernama Salim.

Di akhir pertempuran, ketika Pasukan Setan pimpinan M.A. Sentot hendak mengumpulkan senjata-senjata hasil rampasan, tiba-tiba bantuan tentara Belanda dari kota Indramayu datang dalam jumlah sangat besar. Mengingat kondisi pasukan cukup lelah, maka M.A. Sentot memutuskan untuk tidak melawan pasukan bantuan tersebut. Para prajurit Pasukan Setan memilih mengundurkan diri ke markas mereka di Kampung Waledan dan Kujang. Pada saat mengundurkan diri inilah dua orang anggota pasukan M.A. Sentot gugur, yaitu Murah Nara dan Basuki. Keduanya tersesat dalam proses pengunduran diri sebab tidak begitu paham lokasi markas. Konon Murah Nara merupakan pemuda asal Karawang yang memilih berperang melawan tentara Belanda di Indramayu. Dalam posisi tersesat itulah keduanya dihadang tentara Belanda yang datang dari arah Jatibarang. Tembakan gencar dari tentara Belanda membuat kedua pejuang ini gugur.

Terpancing Propaganda Belanda,
Di akhir tahun 1947, menjelang 1 Januari 1948, pihak Belanda mengubah taktik pertempuran. Kali ini mereka menggunakan siasat perang urat syaraf (psy war). Tentara-tentara Belanda menggunakan tipu muslihat dengan menyebarkan surat-surat kaleng, desas-desus, selebaran gelap, dan penyebaran dokumen rahasia. Isi yang tersebar adalah bahwa Belanda akan mengakui 100% kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Januari 1948. Lemahnya intellijen di kalangan gerilyawan menyebabkan rakyat terhasut oleh informasi menyesatkan ini. Tidak hanya rakyat, bahkan banyak anggota pasukan gerilyawan yang mengadakan pesta kemenangan berama rakyat untuk menyambut datangnya 1 Januari 1948 hingga larut malam.
Apa yang terjadi kemudian? Pasukan gerilya hampir kecolongan. Untunglah sekitar jam 05.00 segera datang laporan dari Pos Pengawas bahwa pasukan Belanda yang datang dari Jatibarang sudah berada di kampung Kerticala. Posisi pasukan Belanda yang sangat dekat dengan markas komando gerilya pasukan M.A. Sentot ini membuat para gerilyawan yang sedang kelelahan sehabis berpesta segera mengungsi ke pinggir-pinggir hutan. Kegesitan untuk mengungsi itu menyebabkan tidak terjadinya kontak senjata antara pasukan gerilyawan dan tentara Belanda karena tak satupun pasukan gerilya yang berhasil mereka temukan.
Ketika cuaca mulai terang, sebenarnya M.A. Sentot dan kawan-kawan akan segera menyerang kedudukan tentara Belanda. Namun niat itu tidak dilaksanakan sebab tiba-tiba pesawat pemburu Mustang Belanda berputar-putar di atas udara desa Sukamulya. Daripada menyerang yang bisa berakibat fatal, pasukan M.A. Sentot akhirnya berpindah posisi ke kampung Telagadua.

Awal Clash dengan Hisbullah
Sementara itu, kondisi pertempuran kian rumit. Keberadaan pasukan gerilyawan di desa Jatisura, Sukamulya, dan Telagadua bukan tanpa kendala. Pada pertengahan Januari 1948 ke markas gerilya pimpinan Kapten Satmoko datanglah seorang tamu bernama Hamid. Rupanya orang ini merupakan mata-mata pasukan Hizbulloh. Setelah itu malam harinya terjadilah penculikan di markas komando gerilya V. Pasukan Hizbulloh dikabarkan menculik Mayor Sangun, Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo. Sementara itu Kapten Satmoko berhasil meloloskan diri dalam penyergapan itu.
Inilah awal clash pasukan M.A. Sentot dengan pasukan Hizbulloh. Setelah penculikan itu, tiga tawanan mereka Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo dibunuh. Mayat ketiganya dibuang ke sungai Cimanuk. Dalam situasi seperti itu M.A. Sentot menerima laporan dari rakyat yang menyatakan bahwa tentara Belanda datang menyerang dari desa Sumber dengan tanpa berpakaian. Setelah laporan itu diperiksa, ternyata yang datang menyerang adalah pasukan Hizbulloh pimpinan Danu. M.A. Sentot yang menganggap pasukan Hizbulloh merupakan teman seperjuangan, sebab mereka sama-sama melawan Belanda, tidak merasa curiga atas kedatangan mereka.

Ternyata perhitungan M.A. Sentot meleset. Pasukan Hizbulloh menyerang pasukan M.A. Sentot yang bermarkas di desa Telagadua dari tiga jurusan. M.A. Sentot yang belum memahami persoalan itu seutuhnya segera memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri ke hutan dan tidak memberikan tembakan balasan.

Sambil mengundurkan diri ke hutan, salah seorang dari pihak M.A. Sentot, yaitu Kapten Surya mengadakan kontak dengan pimpinan Hizbulloh, Danu. Dari kontak itulah diketahui bahwa pasukan Hizbulloh telah salah memilih sasaran. Mereka sedang mencari-cari pasukan gerilya pimpinan Letnan Purbadi yang telah berselisih dengan mereka untuk diminta pertanggungjawabannya. Mereka mengira bahwa anggota gerilya pimpinan M.A. Sentot merupakan anggota gerilyanya pimpinan Letnan Purbadi. Untuk menghindarkan diri dari pertempuran dengan sesama bangsa Indonesia, M.A. Sentot segera memindahkan pasukannya ke kampung Cimindel.
Dalam situasi gawat seperti itu datang perintah dari Letnan Kolonel Abimanyu agar semua pasukan diberangkatkan ke Majalengka, dan ditugaskan untuk menumpas pasukan Hizbulloh yang sudah merajalela. Pasukan Hizbulloh yang terkepung akhirnya meloloskan diri satu per satu. Pasukan pimpinan M.A. Sentot diberi tugas ke desa Asrama di sekitar Indrakila. Di daerah itu pun pasukan Hizbulloh telah menghilang. Pada saat itu, Mayor Sangun telah dibebaskan oleh pasukan gerilyawan yang dipimpin Letnan Emen Slamat. Selanjutnya para pasukan gerilya ini berpindah ke Majalengka.

Hijrah ke Yogyakarta
Perjanjian Renville ditandatangani oleh wakil pimpinan Republik Indonesia dan wakil Belanda. Berdasarkan isi perjanjian ini, maka seluruh gerilyawan harus meninggalkan kantong-kantong gerilya. Sebagai pasukan yang setia pada perintah pimpinan, maka para prajurit yang ada di kantong-kantong gerilya di Indramayu berjalan kaki pindah ke Majalengka. Mereka harus melalui desa Ujungjaya, kemudian berkumpul di desa Ciwaru. Di tempat inilah setelah berjalan kaki selama tiga hari tiga malam pasukan gerilya dari seluruh Karesidenan Cirebon berkumpul.

Setelah beristirahat selama beberapa hari, pimpinan Brigade V, melalui Kepala Staff-nya yaitu Mayor Kusno Utomo, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul di Kuningan. Tempat ini merupakan tempat terakhir di mana seluruh pasukan akan diberangkatkan menggunakan kereta api menuju Gombong, Jawa Tengah. Dari kota ini pasukan melanjutkan perjalanan menuju Ketandan/Klaten. Dari situ mereka melanjutkan perlajanan ke Colomadu, dan berakhir di Tasikmadu.

Di daerah Tasikmadu inilah pasukan yang berasal dari Karsidenan Cirebon mengalami reformasi dan reorganisasi. Pasukan M.A. Sentot sendiri yang semula berada dibawah Bataylon V, kini ditempatkan di Batalyon I Resimen 12 Divisi IV Siliwangi, di bawah pimpinan Mayor Rukman yang membawahi para prajurit dengan susunan komandan sebagai berikut:

Dan Kie I adalah Kapten M.A. Sentot
Dan Kie II adalah Kapten Mahmud Pasja
Dan Kie III adalah Kapten Mustofa
Dan Kie IV adalah Kapten A. Syukur

Sementara itu Kompi I membawahi beberapa Peleton yang terdiri dari:

Peleton I dengan komandannya Letda Hasanuddin
Kompi II dengan komandannya Letda Nasuha
Peleton III dengan komandannya Letda Sudimantoro

 

Leave a comment